“NO EDIT”. Itulah dua buah kata yang sering ditambahkan pada caption pada sebuah foto yang di-share atau dipajang di banyak wall komunitas fotografi di Facebook atau Google Plus.
Kedua kata ini mengindikasikan bahwa yang memajang foto tersebut tidak mengedit foto atau melakukan perubahan apapun pada foto yang dipampang. Foto dipajang apa adanya sesuai dengan hasil yang dikeluarkan oleh kamera.
Pernahkah Anda bertanya mengapa harus melakukan hal seperti itu? Apa tujuan menambahkan kata NO EDIT saat memamerkan foto?
MENGAPA?
Banyak variasi kemungkinan jawaban, tetapi satu yang menjadi perdebatan dalam dunia fotografi digital di masa sekarang.
Ada banyak orang yang merasa bahwa mengedit foto dan memperindah sebagai sebuah tindakan curang. Masih banyak orang berpandangan bahwa seorang fotografer harus mengandalkan pada kameranya dan skill fotografinya saja untuk melahirkan foto yang indah.
Penggunaan perangkat lunak pengubah citra (photo editting software) dianggap sebagai sesuatu yang seharusnya tidak diperkenankan karena dilakukan bukan dengan kamera. Melenceng dari definisi fotografi.
Itulah mengapa istilah NO EDIT kerap hadir.
Dalam kedua kata ini terkandung pesan kepada yang melihat bahwa “Saya fotografer murni lo! Nggak pake Photoshop dan sejenisnya”. Mereka ingin dikenal sebagai kaum puritan yang bersenjata hanya kamera dan bukan Photoshoper atau digital artis.
Mereka beranggapan bahwa tidak seharusnya sebuah foto mengalami post-processing, pengeditan setelah keluar kamera.
Pandangan ini berasal dari masa lalu, pada masa kamera analog, dimana sebuah foto sulit sekali diutak-atik setelah dicetak. Fotografer di masa itu memang lebih mengandalkan kepada kemampuannya memadukan obyek, background, dan kemudian menghasilkan komposisi foto yang bagus dan menarik.
Jadi, kalangan ini berpandangan bahwa fotografi harus tetap “pure” atau murni seperti itu. Sebuah foto tidak boleh diedit sebelum ditampilkan. Sebuah foto harus mencerminkan apa yang dilihat sang fotografer lewat kameranya.
Paling tidak begitulah pandangan dari sebagian fotografer.
Betulkah mengedit foto di komputer adalah sebuah kecurangan?
Pernahkah kita menyadari bahwa proses membuat sebuah foto bukanlah sebuah proses tunggal? Tunggal dalam artian hanya diperlukan satu langkah atau tahao dalam membuat sebuah foto.
Coba saja bayangkan sendiri pada masa dimana fotografer masih mengandalkan pada kamera analog dengan negatif filmnya. Bisakah sebuah foto langsung dilihat setelah keluar dari kamera/
Tidak akan bisa!
Siapapun yang sudah lahir pada masa untuk memotret harus membeli negatif film terlebih dahulu akan menyadari hal ini. Hasil pemotretan dengan kamera analog hanyalah sebuah negatif film yang terlihat terang-gelap-terang-gelap saat diarahkan ke sumber cahaya.
Belum menjadi foto yang bisa dilihat.
Barulah setelah melalui proses di “Kamar Gelap (Darkroom)” sebuah foto bisa dicetak dan kemudian dilihat. Tanpa itu tidak ada foto yang bisa dilihat.
Nah, pertanyaannya adalah apakah di dalam Kamar Gelap itu tidak ada usaha pengeditan?
Ternyata tidak Edward Henry Weston, seorang fotografer kondang asal Amerika yang lahir di tahun 1886 mencoba menggunakan beberapa larutan khusus saat mengolah negatif film hasil jepretannya. Pria yang mendapatkan penghargaan Guggenheim Fellowship atas kreatifitas yang luar biasa di bidang seni ini, juga menggunakan lampu ultra-violet tertentu agar hasil fotonya sesuai dengan ide-idenya.
Singkatnya, bahkan di masa lalu sekalipun, saat kamera analog berkuasa, usaha untuk mengedit foto juga sudah dilakukan. Tentunya tidak dengan cara menggunakan komputer dan software pengedit foto seperti sekarang.
Penghargaan itu menunjukkan juga bahwa usaha melakukan pengeditan foto dianggap lebih sebagai sebuah kreatifitas daripada kecurangan.
Masih cukup banyak nama fotografer terkenal dunia yang menggunakan berbagai teknik pengolahan negatif film yang berbeda dari yang umum. Semuanya ditujukan agar hasilnya bisa sesuai dengan ide dan keinginan mereka.
Jadi, berarti mengedit foto bukanlah sebuah kecurangan?
Tidak juga!
Jika Anda adalah wartawan atau bergelut di bidang fotografi jurnalistik, kemudian Anda melakukan cropping atau editting pada hasil jepretan sehingga merubah nuansa. Misalkan saja, sebuah tempat kumuh menjadi terlihat “tidak kumuh” dan indah.
Tidak kah itu kecurangan?
Ya. Itu adalah sebuah tindakan curang karena yang melihat tidak disajikan realitas sebenarnya. Padahal, sebagai seorang wartawan atau jurnalis, Anda dituntut dan terikat untuk menyajikan informasi yang sebenar-benarnya.
Coba juga bayangkan Anda ikut biro jodoh dan kemudian mengedit foto Anda agar terlihat lebih langsing (padahal gendut) dan kuning langsat (padahal kulit sebenarnya hitam). Tidak kah hal itu memberikan impresi yang salah pada yang melihat? Peminat yang mencari jodoh langsing dan berkuning langsat akan berminat kepada Anda.
Hasilnya, ia bisa jadi kecewa karena aslinya yang ditemuinya tidak sesuai dengan fotonya.
Mengedit foto seperti ini bisa dikategorikan sebagai kecurangan karena yang melihat tidak diberikan informasi yang benar.
Berbeda ketika Anda menjalankan foto studio. Pelanggan Anda justru ingin dirinya terlihat indah, cantik, dan keren. Oleh karena itu maka tugas Anda adalah memenuhi kemauan pelanggan. Silakan saja yang gendut dipotret dari sudut yang membuatnya tampak agak kurus atau mata sipit dibuat menjadi agak “belo” alias besar.
Atau, jika bergelut di bidang seni, sah-sah saja foto diedit agar sesuai dengan ide kita.
Meski ada batasan tertentu di dalam fotografi dimana foto yang diedit berasal dari kamera yang kemudian diedit di komputer. Bukan merupakan perpaduan 2-3 foto atau image.
Kalau menggabungkan 2-3 foto menjadi satu mengarah pada digital imaging dan hasilnya disebut digital image.
Tidak mudah untuk memutuskan apakah mengedit foto itu sebuah kecurangan karena akan tergantung pada
- Genre fotografi yang ditekuni
- Tujuan dari kegiatan fotografi
- Pengeditan seperti apa yang dilakukan
Tidak seharusnya ada generalisasi dan tidak boleh ada vonis bahwa pengeditan sebuah foto sudah pasti kecurangan. Semua harus dilihat dari latar belakang pemotretannya.
Jadi, jika memang tidak bergelut di bidang jurnalistik, sebenarnya mengedit foto bukanlah sebuah tindakan curang.
Bagaimanapun dasar fotografi adalah menampilkan keindahan, karena itulah ada definisi fotografi yang artinya melukis dengan cahaya. Dimanapun kata melukis adalah menampilkan keindahan dari ide yang ada di kepala sang pelukis.
Semua usaha ke arah sana, termasuk mengedit foto dengan photo editting software adalah sah dan seharusnya bisa diterima. Hal itu sudah dilakukan sejak awal kamera ditemukan.
Lagipula, perkembangan teknologi kamera memang ditujukan untuk mempermudah fotografer menghasilkan foto-foto yang indah dan bagus. Hal itu diimpikan banyak orang di masa lalu, jadi tidak seharusnya ditolak dan disanggah.
Jadi, tidak perlu sebenarnya mencantumkan NO EDIT pada foto yang dipajang dan dipamerkan. Tidak ada yang peduli sebenarnya apakah diedit atau tidak, selama hasilnya indah dan enak dilihat.
Bukan begitu, kawan?