Segala sesuatu ada “harganya” di dunia ini. Kalimat itu sering dipakai banyak orang bahwa kalau menghendaki sesuatu yang “bagus” biasanya orang harus merogoh kocek lebih dalam dan membayar lebih mahal. Yah, mau tidak mau karena di dunia dimana jiwa kapitalisme sudah merasuk sedemikian dalam, “kualitas” adalah sesuatu yang bisa dijadikan uang dan banyak orang rela mengeluarkan uang banyak untuk mendapatkannya.
Begitu juga dalam urusan fotografi. Kalau memang mau sesuatu yang lebih “berkualitas” alias lebih bagus, lembaran uang yang harus keluar akan lebih banyak.
Salah satu contoh terbaik yang sudah dialami sendiri adalah ketika memilih lensa untuk “bokeh” bagi si Canon EOS 700D, yaitu lensa prime 50 mm. Inginnya sih membeli seri L atau setidaknya membeli yang diperlengkapi dengan USM (Ultra Sonic Motor), apadaya, budget tidak mencukupi, jadilah pilihan jatuh pada si lensa prime Canon 50 MM STM saja.
Walau nama sama tetapi kode di belakang yang bukan STM mencerminkan sesuatu yang lumayan berpengaruh pada kemampuan lensa itu sendiri. Tanpa USM, maka kemampuan fokus lensa tersebut lumayan “lamban”. Yah, fokus lamban adalah yang akan didapat saat membeli Lensa Fix 50 MM versi STM keluaran Canon.
Hal tersebut terasa sekali ketika dipakai untuk mendapatkan latar belakang blur yang bagus tetapi dengan obyek tetap terlihat tajam. Apalagi di saat obyeknya bergerak. Repot. Kamera membutuhkan waktu 1-2 detik untuk mendapatkan fokus dan meski hanya 1-2 detik, dengan obyek yang terus bergerak, bisa dikata hampir tidak mungkin mendapatkan foto dengan obyek yang terlihat tajam.
Repot. Terutama jika kita adalah fotografer jalanan yang berhadapan dengan obyek yang terus bergerak.
Menyebalkan?
Tidak juga.
Pilihan untuk membeli versi STM dan bukan versi USM sudah diketahui baik dan buruknya. Prinsip “segala sesuatu ada harganya” dimengerti dan dipahami dengan baik. Selisih harga yang lumayan, mencapai 1-2 juta pasti ada kompensasinya. Dan, karena fotografi bukanlah gantungan keluarga dalam mencari nafkah, rasanya tetap berat untuk mengeluarkan uang sebesar itu hanya untuk sekedar kesenangan.
Jadi, saya menerima kelemahan yang disajikan oleh lensa prime 50 MM keluaran Canon ini.
Bukan berarti saya tidak memakainya lagi, namanya mubazir sudah membeli sesuatu dan tidak memakainya. Lensa tersebut tetap dipakai, lumayan sering bahkan. Hanya saja, saya tidak lagi akan berusaha untuk mengambil foto dari obyek yang bergerak menggunakan lensa ini. Tidak ada gunanya. Hasilnya tidak memuaskan.
Lensa prime 50 mm ini saya pergunakan untuk
- Memotret obyek yang tidak memerlukan bokeh alias dengan aperture kecil dan gambar yang jelas dan tajam. Lensa ini masih sangat berguna untuk urusan yang satu ini. Foto yang dihasilkan tetap tajam
- Memotret obyek statis , tentunya dengan “bokeh”. Hasilnya? Bagus. sekali. Obyek statis tidak memerlukan fokus yang cepat dan dengan ini kelemahan berupa fokus lamban tidak terasa.
- Memotret landscape pun lensa ini masih sangat bagus karena lumayan “lebar” (jangan bandingkan dengan yang 18-24 mm tapinya)
Fokus lamban adalah sesuatu yang menyebalkan sebenarnya karena akan sangat menyenangkan kalau semua lensa bisa dengan cepat mendapatkan fokus. Sayangnya, terkadang budget yang tersedia tidak mendukung kemauan.
Tetapi, dalam hal ini kelemahan tersebut tidak membuat sesuatu akan menjadi buruk semuanya. Bagaimanapun yang terpenting bagi sebuah kemajuan adalah tentang bagaimana memanfaatkan sisi “kuat” dan menghindari memakai sisi lemah.
Lensa fix 50 MM keluaran Canon versi STM ini memang memiliki fokus yang lamban, tetapi bila kita tidak memaksakan untuk melakukan sesuatu di luar kemampuannya, maka lensa ini bisa tetap berfungsi dengan baik dan menghasilkan foto yang bagus pula.
Dua foto anggrek bulan berwarna ungu di dalam tulisan ini adalah contohnya. Obyek statis dan dibantu tripod. Hasilnya, bokeh yang tetap bagus.
Iya kan?