Yah, bukan sebuah pilihan yang populer. Dan, tentunya, bukan sesuatu yang bersifat komersil, tidak ada uangnya. Tetapi, fotografi bisa dipergunakan juga untuk memperlihatkan sesuatu yang bisa menggugah kesadaran masyarakat untuk menuju ke arah yang lebih baik.
Teorinya, manusia mengerti dan tahu tentang benar dan salah. Mereka paham bahwa ada aturan yang memberi batasan tentang itu. Sayangnya, seperti sudah kodrat manusia untuk penuh dengan kekurangan, kerap mereka khilaf dan lupa, kerap mereka melakukan kesalahan. Ditambah dengan tidak adanya hukuman yang dikenakan kepadanya, mereka menjadi terbiasa melakukan kesalahan tersebut.
Contoh sederhana saja seperti membuang sampah sembarangan atau melawan arus lalu lintas. Hal ini banyak sekali terjadi di negara ini.
Dan, hal ini sebenarnya fotografer bisa mengambil peran untuk membantu memperbaikinya. Misalkan dengan cara memotret tindakan-tindakan yang melanggar aturan seperti itu. Kemudian, menyebarkannya via media sosial.
Pelakunya memang kemungkinan besar tidak akan mendapat ganjaran apa-apa, tetapi masyarakat yang melihat akan seperti diingatkan supaya tidak melakukan hal yang sama.
Bukan sebuah langkah mudah dan perlu dilakukan berulang. Tetapi, jika setiap fotografer di dunia tidak hanya terfokus pada menampilkan keindahan saja dalam foto mereka, perlahan tapi pasti kesadaran itu akan terbangun. Masyarakat akan menyadari yang mana yang benar dan yang salah.
Buktinya sudah terasa di dunia maya, bahwa opini masyarakat terhadap satu foto berisi momen pelanggaran aturan bisa terbentuk dalam waktu yang singkat hingga menjadi sebuah gerakan, yang akhirnya memaksa pelanggar untuk menyerah atau yang berwenang mengambil tindakan.
Hanya maukah kalangan yang mengaku dirinya fotografer mengarahkan kameranya pada hal-hal seperti ini? Atau, mereka menganggap dirinya terlalu “tinggi” untuk memotret momen yang tidak berisikan keindahan dan bernilai seni?
Itu pertanyaannya. Dan, terkadang jawabannya menyedihkan.