Apa beda fotografer dan tukang foto? Sebuah pertanyaan yang masih kerap diajukan dan kemudian diperdebatkan panjang lebar. Padahal, tidak ada sesuatu yang penting di dalamnya. Mengetahui bedanya atau tidak, tidak memberikan tambahan benefit apa-apa selain sebuah pemuasan ego belaka.
Pertanyaan yang sama juga menunjukkan bahwa dunia fotografi pun tidak bisa terlepas dari sifat-sifat manusia dan masyarakat, yang kerap menyukai adanya kasta dan perbedaan status.
Padahal seharusnya tidak demikian.
Tukang foto dan fotografer adalah sama saja. Tidak ada bedanya. Hanya saja yang satu merupakan istilah asli yang berasal dari Indonesia sedangkan yang kedua merupakan serapan dari bahasa asing, photographer yang kemudian dilafalkan oleh orang Indonesia sebagai fotografer.
Keduanya sama-sama memiliki tujuan sama, yaitu untuk menghasilkan foto dengan kamera mereka. Jenis kamera yang dipergunakan bisa sama, bisa juga tidak. Kedua istilah merujuk pada orang yang mampu mengoperasikan kamera dan mungkin mendapatkan penghasilan dari sana.
Hanya saja, di dalam masyarakat Indonesia belakangan ini, kata tukang foto dianggap tidak keren dan rendahan. Bayangan yang keluar ketika istilah ini dipakai adalah seseorang yang dengan kamera bermerk murah berkeliling kesana kemari di sebuah lokasi wisata dan menawarkan jasanya kepada para pengunjung yang datang. Tentunya dengan harapan mereka dibayar.
Biasanya ukuran nilai yang diberikan atas jasa mereka tidaklah besar. Beberapa lembar sepuluh ribuan kerap cukup untuk memanfaatkan jasa mereka.
Tidak jarang pula, bahkan nilai di bawah itu diterima.
Tidak keren.
Di sisi lain, ketika kata fotografer yang keluar dari mulut, maka yang terbayang di benak banyak orang adalah seseorang yang menenteng kamera mahal, memiliki studio dengan ruang ber-AC, dilengkapi dengan berbagai peralatan yang kesannya canggih dan mahal.
Tarif yang dikenakan oleh “fotografer” pun biasanya tidak murah. Tidak cukup beberapa lembar 10 ribuan, mereka menetapkan berdasarkan uang seratus ribuan. Mahal.
Padahal, apa yang mereka kerjakan itu sama saja, yaitu berusaha menghasilkan foto yang bisa memuaskan orang yang membayar mereka. Bagus tidaknya masih tergantung pada tingkat keahlian masing-masing dalam mengoperasikan kamera, kreatifitas, dan banyak lagi hal lainnya.
Tidak ada bedanya.
Apalagi, sekarang istilah fotografer pun tidak lagi terbatas pada kalangan tertentu, yaitu kalangan pembuat foto yang dibayar. Label itu sekarang juga banyak dipergunakan sesuai makna aslinya, yaitu diberikan kepada mereka yang menghasilkan foto menggunakan kamera.
Jadi, kata-kata itu hanyalah sinonim saja. Tidak berbeda sama sekali.
Yang membedakannya adalah karena beberapa kalangan, terutama mereka yang merasa dirinya lebih dalam hal skill atau sudah mengeluarkan uang banyak untuk membeli peralatan memotret, tidak mau keduanya disamakan. Kalau keduanya dianggap sama, maka mereka merasa turun derajat dan kehilangan nilai pasar.
Itulah yang menyebabkan beda fotografer dan tukang foto yang sebenarnya tidak ada, dibuat ada. Untuk melindungi kepentingan dan status kalangan tertentu saja.
Bukan karena benar-benar bisa terlihat bedanya secara fisik.
Meskipun demikian, saya memang menemukan ada perbedaan antara fotografer dan tukang foto. Perbedaan itu terletak pada kata “NASIB”.
Kalau saja nasib sang tukang foto bagus, dan ia berhasil mendapatkan uang, status, maka ia akan bergelar fotografer dan bukan tukang foto. Sayangnya, nasib tidak berpihak kepadanya, jadilah ia dianggap tukang foto yang dipandang sebagai kasta rendahan oleh banyak orang.
Tetapi, tidak oleh saya yah. Bagi saya, seorang penggemar fotografi, mereka adalah kawan dan rekan sejawat, meskipun saya tidak memotret untuk uang seperti mereka. Bagaimanapun, senjata kami saja, kamera, hanya tujuannya saja yang tidak sama.
Iya kan?