Baru-baru ini setelah meninggalnya Presiden RI ke-3, BJ Habibie, diskusi tentang masa;ah etika merebak di berbagai media. Bukan hanya media sosial saja, tetapi juga media visual, seperti TV menyisakan satu dua slot pada acara Talk Show untuk membahas mengenai etis atau tidaknya berfoto atau selfie di depan makam.
Hangat menjadi perbincangan mengingat topik ini mencerminkan tren di dunia nyata, dimana banyak orang sepertinya sudah kecanduan media sosial, sehingga apa saja dijadikan potret untuk diposting di medsos dengan tujuan mendapatkan like atau jempol.
Salah satu yang paling banyak dilakukan, selain di makam orang terkenal, ibu bapak, juga dengan jalan membuat video atau memotret orang yang meninggal atau sedang sakit.
Tidak sedikit orang yang memajang ibu, bapak, saudara, atau teman yang sedang dirawat di rumah sakit memotretnya, lengkap dengan selang infus atau alat-alat lainnya, dan wajah dari sang sakit. Tidak jarang juga, bahkan jenazah orang yang meninggal, sudah dikafani, pun hadir di media sosial.
Biasanya dilengkapi dengan permintaan doa agar diberikan kesembuhan bagi yang sedang sakit, dan bila yang sudah meninggal, didoakan supaya masuk surga.
Itulah fakta yang ada di dunia maya belakangan ini.
Perdebatan dan pembahasan tentang berselfie di makam orang terkenal, seperti mantan presiden atau artis hanyalah pucuk dari gunung es kebiasaan baru yang hadir sejak kelahiran medsos dan smartphone.
Etiskah hal itu dilakukan?
Reaksinya ternyata, dan seperti biasa beragam. Ada yang menganggap bahwa hal-hal seperti itu tidak pantas untuk dilakukan dan sudah berlebihan, tetapi ada juga yang menganggapnya sebagai hal yang wajar. Bahkan, keluarga dari BJ Habibi sendiri mengatakan tidak mempermasalahkan dan memandang hal itu sebagai bagian tak terelakkan dari perkembangan teknologi kamera.
Ada dua sisi pandang yang berbeda dalam hal ini.
Etiskah ?
Yah, memang perbedaan sudut pandang adalah hal yang wajar. Itulah bagian dari kehidupan manusia dimanapun.
Meskipun demikian, manusia sebaiknya memilih agar bisa menentukan sikap ketika mereka dihadapkan pada kondisi dimana mereka harus memilih salah satu.
Dan, saya memandang tindakan seperti memotret orang meninggal atau sakit adalah sesuatu yang bertentangan dengan etika, tidak etis sama sekali, terutama kalau hanya untuk sekedar dipajang dan pamer di Facebook atau Instagram. Menarik perhatian orang itu wajar, tetapi caranya pun harus tetap mempertahankan sisi kemanusiaan.
Beberapa alasan lain yang saya pegang adalah
- Seorang yang sakit , apalagi sakit parah, pastinya sedang berjuang menahan rasa sakit yang dialaminya. Ia tidak seharusnya dijadikan obyek untuk pemuasan nafsu pamer dari siapapun
- Seorang yang sakit tentunya tidak ingin memberikan kenangan buruk bagi keluarganya, dan pasti tidak ingin teringat pada penderitaannya
- Tidak semua orang nyaman melihat jenazah orang yang meninggal apalagi dalam keadaan sudah dikafani, hal seperti ini bisa membangkitkan ketakutan saat fotonya dipamerkan di Facebook atau Instagram
- Setiap orang ingin meninggalkan kenangan indah kepada orang lain, dan hal itu tidak bisa dihadirkan dalam foto jenazah atau ketika dalam kondisi sakit
- Tidak seharusnya seseorang memanfaatkan orangtua, saudara, teman, atau orang lain, bahkan diri sendiri untuk mengundang dan mengemis perhatian orang yang bahkan tidak dikenal (apalagi sekedar mendapatkan Like atau Jempol di medsos saja)
Tidak.
Saya tidak bisa memandang tindakan memotret jenazah atau orang sakit sebagai sesuatu yang etis, meski saya sadar perkembangan teknologi dan perubahan tradisi dan budaya.
Tetap harus ada batasan dalam hal apapun.
Kecuali…
Dalam situasi khusus, seperti untuk dijadikan alat bukti, pemberitaan di media massa, atau untuk mendapatkan bantuan dari yang bisa menolong.
Bukan untuk pemuasan ego dan keinginan untuk pamer.
Harus ada batas.
Dilema : Disuruh membuat video orang meninggal
Dua hari yang lalu, sebelum tulisan ini dibuat, saya dihadapkan pada situasi dimana saya harus memilih.
Seorang saudara, setelah koma beberapa hari, meninggal setelah menjalani perawatan di rumah sakit. Ketika saya datang ke RS untuk membantu mengurus jenazahnya, seorang menantu dari yang meninggal mendekati saya dan meminta agar dibuatkan video/dokumentasi dari rumah sakit sampai pemakamannya.
Bukan untuk dipamerkan, tetapi kebetulan salah seorang anak dari bibi yang wafat itu sedang menjalani proses perawatan di rumah sakit lain di Jakarta karena melahirkan. Ia sedang dalam kondisi sakit dan lemah sehingga tidak akan bisa hadir dalam pemakaman ibunya.
Ia memintanya karena tahu saya gemar fotografi dan sudah beberapa kali memotret dalam beberapa acara keluarga.
Berat sekali rasanya buat saya memenuhi permintaan itu. Tetap, tidak nyaman rasa di hati harus membuat video dari seseorang yang baru saja berpulang, dan situasi yang sebenarnya sangat menyedihkan itu.
Sampai pada akhirnya, saya memutuskan untuk mengeluarkan sang OPPO A3s dan kemudian mulai membuat video. Setiap proses dan tahap dalam pengurusan jenazah, saya rekam dan kirimkan via Whatsapp kepada sang anak.
Tetap, rasa tidak nyaman muncul di hati di kala harus men-shoot wajah sang mayit atau kesedihan dari sanak saudara.
Meskipun demikian, saya sadar bahwa ada seseorang yang sangat berharap menerima video itu. Seseorang yang baru saja kehilangan ibunya dan diberi keterbatasan kondisi fisik untuk bahkan sekedar melihat ibunya untuk terakhir kalinya.
Saya tidak nyaman, tetapi, saya harus tetap bertahan dan melakukannya karena di saat seperti itu, saya menyadari bahwa disitulah fungsi fotografi/videografi. Selain untuk mempertunjukkan keindahan, juga bisa dimanfaatkan untuk menjadi pelipur lara bagi orang lain.
Mungkin, di saat normal, hal itu akan menjadi perdebatan panjang tentang keetisannya, tetapi di saat itu, saya hanya ingin menghibur dan memberi kesempatan kepada seseorang yang sedang sangat sedih , untuk melihat sdan merasa ikut terlibat dalam mengurus orang yang disayanginya untuk terakhir kalinya.
Sebuah tugas yang saya harap tidak selalu dilimpahkan kepada saya di kemudian hari.
(Dan jangan berharap videonya akan dipampang di tulisan ini)