Kejam? Tidak. Percayalah memang hal ini harus dilakukan bagi siapapun yang ingin menjadikan dirinya seorang fotografer yang handal. Saya sendiri masih berjuang untuk melakukannya karena disadari bahwa tanpa melakukan konsep KILL THE BABIES ini, maka hambatan psikologis yang ada di dalam diri sendiri akan tetap ada.
Tentunya, hal itu sama sekali tidak baik untuk mencapai target menjadi fotografer atau setidaknya penggemar fotografi yang kebih baik.
Apa sih konsep KILL THE BABIES itu? Mengapa kok sesuatu yang kedengarannya “kejam” justru malah harus dilakukan?
Begini…
Konsep KILL THE BABIES : Berani Menilai Foto Sendiri
Pandangan tentang konsep ini lagi-lagi saya dapatkan dari Eric Kim. Tentunya, melihat intinya, dia bukanlah yang pertama kali mengemukakannya. Banyak dari pendahulunya yang tentunya sudah pernah mengutarakan hal yang sama.
Hanya, karena saya membacanya di blog milik si street photographer muda berdarah Korea ini, maka namanya lah yang dicantumkan dalam artikel ini.
Tidak semengerikan namanya dan tidak ada darah yang mengalir dalam konsep ini.
Inti dasar dari konsep ini adalah seorang fotografer, atau yang hendak menjadi fotografer harus berani menilai foto sendiri, maksudnya hasil jepretannya. Kemudian, ia harus memutuskan apakah tetap menyimpan foto tersebut atau men-delete-nya dan membuangnya ke “recycle bin”.
Mengapa hal ini perlu dilakukan?
Perkembangan dunia digital dewasa ini memberikan banyak sekali kemudahan bagi para penggemar potret memotret ini. Semua menjadi mudah dan murah.
Hal ini melahirkan sikap ketidakhati-hatian atau menggampangkan dalam diri banyak manusia, termasuk diantaranya adalah fotografer, yang tentunya manusia juga.
Banyak dari kita akan memotret asal-asalan karena toh tidak perlu dicetak dan nanti tinggal di-delete saja. Itu pola berpikir yang banyak sekali ditemukan di zaman ini.
Sayangnya.
Rasa “sayang” atau “keterikatan” juga merupakan salah satu sifat naluriah manusia. Contohnya, pernahkah Anda berpikir mengapa sepatu bekas yang sudah lusuh masih tersimpan di rak sepatu di rumah? Pernahkah Anda memikirkan mengapa masih menyimpan handphone kuno padahal Anda sudah membeli Samsung Galaxy S8?
Pernahkah Anda menghitung berapa banyak barang yang sebenarnya tidak berfungsi di rumah Anda?
Banyak.
Itu akibat rasa keterikatan.
Gabungkan antara murahnya biaya memotret dan juga rasa keterikatan. Hasilnya adalah kita cenderung menyimpan semua hasil foto hasil jepretan kita. Mungkin kita akan memamerkan beberapa yang dianggap terbaik, tetapi sisanya apakah benar di-delete?
Kemungkinan besar TIDAK.
Kita cenderung suka menyimpannya. “Ah, siapa tahu suatu waktu bisa berguna” adalah kalimat yang sering menjadi dasar kita melakukannya.
Coba tanyakan kepada diri sendiri? Bukankah begitu?
Hasilnya, semakin lama semakin banyak foto yang jelek, tidak enak dilihat, blur, dan sejenis tersimpan. Kita berharap suatu waktu bisa dipergunakan, entah kapan. Padahal hasilnya adalah foto-foto tersebut hanya akan memenuhi hard disk atau ruang penyimpanan digital lainnya.
Bagaimanapun, kapasitas ruang penyimpanan digital ada batasannya. Apalagi jika foto-foto yang disimpan berukuran 5-6 MegaByte per buah.
Suatu waktu akan penuh juga. Tidak beda dengan rumah dimana kita tinggal. Semakin banyak kita memotret maka semakin cepat pula hard disk di komputer kita akan semakin cepat penuh.
Hasilnya, kita harus membeli hard disk external baru, (keluar biaya lagi) atau kesulitan mencari foto-foto yang terbaik.
Semuanya tercampur aduk dalam ruang penyimpanan, yang sebagian besar terpenuhi oleh foto-foto yang “tidak berguna” tadi.
Mahal juga bro.
OK-lah kita mampu membeli hard disk external tambahan 2 atau tiga, tetapi tetap saja jika kita tetap melakukan pola yang sama, maka kapasitas tambahan pun akan habis dengan cepat.
Harus keluar uang lagi.
Mungkin Anda berkata 3-4 hard disk tambahan tidak mahal, tetapi tidak kah mubazir? Bukan kah lebih baik membeli sebuah lensa baru dibandingkan membeli tambahan ruang penyimpanan hanya sekedar untuk menampung sesuatu yang “tidak akan pernah dilihat lagi“?
Maukah Anda membeli rumah tambahan hanya untuk menyimpan mebel usang, atau sepatu butut, atau kipas angin rusak? Pastinya tidak, bukan begitu?
Tetapi, yang PALING MAHAL dari gabungan antara “kemudahan” dalam memotret dan juga “rasa keterikatan” ini adalah SIKAP CEROBOH.
Tidak ada lagi kehati-hatian untuk menerapkan berbagai teori dan prinsip fotografi yang baik dan benar. Tidak ada lagi usaha untuk menghasilkan sesuatu yang memikat perhatian. Tidak ada lagi perjuangan untuk membuat semua karya yang bagus.
Yang terjadi adalah penerapan prinsip, potret dahulu, pilah kemudian. Pilih yang bagus, simpan yang jelek, siapa tahu bisa berguna. Siapa tahu Tuhan berbaik hati dan ada satu dari jepretan yang bisa membuat orang ternganga kagum?
Sesuatu yang sebenarnya tidak baik bagi perkembangan dan kemajuan. Fotografer tidak lagi berpikir sebelum menekan tombol shutter. Padahal kata Arifin Rambey, sang fotografer senior dari Kompas, memotret juga perlu berpikir, dan tentunya dilakukan sebelum menekan tombol shutter.
Juga, tidak ada lagi sikap untuk mencoba melakukan yang terbaik. Padahal ini adalah inti dari perkembangan seseorang, baik dalam fotografi ataupun hal lain. Pola yang ada hanyalah berharap pada keberuntungan .
Tidak ada usaha untuk “memastikan” hasilnya akan bagus.
Random. Acak.
Berharap pada kebaikan Tuhan dibandingkan berusaha mengontrol proses agar berhasil.
Tentunya, bukan sikap yang akan membantu mendorong untuk berkembang. Jika pola yang sama terus terulang, maka hasilnya pun akan sama. Tidak akan ada peningkatan kemampuan dengan cara ini.
Hanya jika Tuhan berbaik hati, hasil bagus akan didapat.
Jadilah Juri : Nilai dan Tekan Tombol Delete
Penerapan prinsip KILL THE BABIES mudah sekaligus berat.
Sederhana saja (untung memotret sekarang sudah sangat murah, tidak perlu dicetak untuk melihat hasil).
Jadilah juri (bagi foto karya sendiri).
Nilailah semua foto hasil jepretan Anda selama ini. Kemudian lakukan hal sederhana berikut
- Blur ? Tekan tombol delete
- Over atau under exposured? tekan tombol delete
- Ada 5 foto untuk satu obyek? pilih satu yang menurut Anda terbaik dan delete sisanya
- Tidak menarik menurut Anda? tekan tombol delete
Nilai dan tekan tombol delete. Itu inti konsep ini.
Jika ternyata tersisa masih banyak foto dan Anda ragu mana yang terbaik, minta pendapat dari teman atau rekan atau bahkan saudara, tanyakan pandangan mereka.
Kemudian, tekan tombol delete untuk foto yang tidak dipilih.
Kurangi sebanyak mungkin dari koleksi foto-foto yang ada di hard disk.
Jangan berpikir untuk menggunakan Adobe Photoshop atau Lightroom atau photo editting software lain untuk mencoba memperbaikinya. Anda mungkin mendapatkan hasil yang “lumayan” dan lebih baik dari sebelumnya, tetapi Anda kehilangan kesempatan memperbaiki kemampuan fotografi.
Mana yang lebih penting untuk dimiliki seorang fotografer?
Manfaat Menerapkan prinsip KILL THE BABIES
Yang pasti, jika hal itu dilakukan dengan ketat, mungkin hanya akan tersisa kurang dari 5% dari jumlah koleksi foto yang pernah dibuat.
Sakit?
Tidak enak. Pasti. Hasil karya selama ini seperti terbuang percuma.
Memang. Sangat tidak enak rasanya melihat hal itu, tetapi..
A) Kapasitas hard disk akan bertambah setelah “foto-foto tak berguna” itu tidak ada. Coba saja kalikan 2000 atau 3000 foto berukuran 5 MB per buahnya. Berapa tambahan kapasitas yang menjadi lowong? Tidak perlu beli hard disk tambahan kan?
B) Jika Anda punya 10.000 foto, untuk mendapatkan yang 5% tadi, Anda harus menilai foto yang sangat banyak. Sadar tidak sadar, mata dan insting akan terlatih untuk memberikan penilaian dan memisahkan antara “baik” dan “buruk”. Pada akhirnya akan bermanfaat ketika berada di lapangan untuk hunting foto. Mata kita akan terbiasa menemukan sesuatu yang bisa menghasilkan sesuatu yang bagus, biasa saja, atau jelek
C) Perlahan tapi pasti, sikap “menggampangkan” yang hadir dari berbagai kemudahan yang tersedia akan tereliminasi dan berkurang. Kita tidak lagi gampang menekan tombol shutter dan akan terbiasa untuk berpikir sebelum melakukannya. Kita tidak mau shutter count bertambah tanpa hasil.
Proses yang sama rasanya dilakukan banyak fotografer senior. Sudah pasti merekapun banyak menghasilkan foto-foto yang alakadar-nya alias biasa saja, bahkan juga buruk.
Tetapi, mereka melakukan proses seleksi. Mereka menilai foto-foto yang dihasilkan. Mereka membuang foto yang buruk, kurang bagus, biasa saja dan hanya memilih yang terbaik.
Itulah yang membuat mereka memiliki kemampuan atau skill fotografi yang mumpuni.
Pasti mereka melalui juga proses seleksi ala KILL THE BABIES yang menyakitkan ini.
Tidak menyenangkan.
Tetapi, hal itu memang harus dilakukan demi perbaikan dan perkembangan diri sebagai seorang fotografer.
Bukan begitu, Kawan?
Itulah yang sedang saya terus lakukan dengan membuang sebanyak mungkin foto dari hard disk komputer tempat artikel ini ditulis. Sudah ribuan yang hilang dan masih ribuan lain yang perlu dinilai.
Wah ini seakan-akan menyindir saya sendiri. Di photo blog saya, yang saya tampilkan rata-rata hanya lima, sebenarnya photo yang saya dapatkan bisa mencapai ratusan. Saya pilih-pilih mana yang layak untuk di publish ,dan itu memang tidaklah mudah. Karena menilai hal baik dan buruk tentang kualitas photo tidak lah mudah, karena disana egoisme ikut bermain.
Lucunya juga ada photo yang saya anggap jelek dan blur, eh tenyata ada yang beminat juga. Ada situs besar yang menggunakan hasil jepretan saya. Kadang malu jika melihat photo tersebut ,resolusinya kecil sekali.
Saya punya flashdisk banyak, demi menyimpan ratusan photo jepretan saya. Ada ras ingin menghapus tapi ada rasa sayang juga, sebuah delima. tega dan tidak tega.
Nggak niat nyindir. Saya maklum kok.. wong saya juga merasakan hal yang sama. Beberapa foto yang saya anggap jelek juga ternyata ada juga yang memakainya.
Cuma, konsep ini ada benarnya karena kita harus bisa menyingkirkan egoisme dan keterikatan secara emosional dan harus bisa menilainya secara logis dan teknis. Hal ini justru membantu banyak dalam perkembangan kemampuan kita sebagai pemotret.
No pain no gain.. walau memang benar-benar tidak mudah