Memotret Dengan Feeling atau Intuisi Saja, Bisakah Hasilnya Bagus?

“Ah, saya mah kalau memotret cukup pakai feeling saja. Kalau sudah terasa pas, cekrek!. Begitu kata seorang kawan bahwa memotret itu tidak perlu repot-repot dan tidak perlu banyak aturan. Ia secara tersirat mengatakan bahwa memotret dengan feeling atau intuisi saja sudah cukup untuk menghasilkan foto yang bagus.

Benarkah?

Benar, tetapi dengan catatan khusus nan panjang.

Pandangan yang tidak salah, tetapi sebenarnya menyampaikan sesuatu yang bisa salah diinterpretasikan. Untuk mendapatkan interpretasi yang akurat dari pernyataan itu harus diteliti juga tentang “siapa yang mengatakan”.

Kalau yang mengatakan adalah seseorang yang sudah menekuni fotografi cukup lama, maka pernyataan itu bisa diterima. Namun, kalau yang mengemukakannya ia yang belum pernah belajar kamera, teknik fotografi, atau memperdalam skill di bidang potret memotret, maka pernyataan tersebut sebaiknya jangan terlalu dimasukkan ke dalam hati.

Mengapa?

Bayangkan seperti ini, imajinasikan !

Ilustrasi 1

Seorang anak yang baru belajar dan sebelumnya belum pernah memasak sayur lodeh mengandalkan feeling atau intuisinya saja saat memasak. Ia mengabaikan resep yang dibuatkan oleh ibunya.

Ia akan memasukkan semua bahan sesuka dia, begitu juga takaran garam atau santan. Ia tidak memperhatikan nyala api di kompor dan mencemplungkan semua bahan sekaligus karena intuisinya mengatakan demikian.

Semua hanya mengandalkan feelingnya saja.

Ilustrasi 2

Seorang ibu yang sudah berpengalaman memasak puluhan tahun untuk keluarganya dan sudah ratusan kali membuat sayur lodeh, melakukan hal yang sama.

Ia tidak melihat buku resep dan memasak sesuai dengan feeling dan intuisinya saja.

Pertanyaannya?

Manakah di antara hasil sayur lodeh yang rasanya akan enak?

Kalau saya akan mengatakan bahwa masakan si ibu akan enak, sedangkan masakan si anak mungkin tidak akan pernah jadi. Masakan si anak mungkin gosong tak berbentuk.

Lah kok bisa yakin? Bukankah keduanya mengandalkan feeling atau intuisi saja?

Memang, sepertinya sama. Keduanya mengandalkan pada hal yang sama. Namun, jelas di sana ada perbedaan yang tidak terlihat.

Seorang ibu yang sudah memasak sayur lodeh berulangkali, pada dasarnya sudah menyerap semua pengetahuan tentang bahan, cara memasak, cara membuat bumbu, kapan sayuran harus dimasukkan, kapan santan harus ditambahkan, dan lain sebagainya.

Meski tidak melihat lagi buku resep, sebenarnya pengetahuan itu sudah ada di kepala dan bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Ia tidak lagi perlu membaca buku resep karena ia sudah hafal sekali dan bahkan sudah bisa berimprovisasi.

Feeling dan intuisinya sudah terasah karena pengetahuan dan latihan yang dilakukannya. Pengalamannya sudah panjang dan hal itu membuat intuisinya sudah setajam pisau.

Berbeda halnya dengan si anak yang belum pernah melakukan hal itu. Ia selain minim pengetahuan, juga minim pengalaman. Feeling dan intuisinya seperti besi tebal yang tumpul karena belum terasah sama sekali.

Jadi, jangan pernah berharap bahwa hasilnya akan bagus.

Hal yang sama berlaku dalam bidang lain, termasuk fotografi.

Skill atau kemampuan yang didapat bukanlah bakat yang diwariskan dan otomatis dimiliki semua orang. Untuk mendapatkan skill ini, seorang fotografer akan melalui proses yang panjang.

Ia akan belajar teori. Kemudian, ia belajar prakter. Ia akan melakukan kesalahan dan kemudian menemukan solusinya.

Proses inilah yang kemudian membuat otak dan tubuhnya semakin lama semakin terbiasa. Rasa yang ada di hatinya pun akan semakin tajam pula dalam membedakan mana foto yang bagus dan yang jelek.

Intuisi atau feelingnya berbeda dari orang yang tidak pernah melakukannya. Ia sudah merubah semua itu menjadi bagian dirinya, kebiasaannya.

Jadi, tidak bisa disamakan.

Jadi, jika Anda mendengar seseorang mengatakan bahwa memotret cukup dengan feeling atau intuisi saja, mungkin sebelum Anda menganggukkan kepala, ajukan saja pertanyaan kepada yang mengatakan.

“Sudah berapa lama Anda belajar memotret?” atau “Apakah Anda seorang fotografer?”

Kalau jawabannya, belum pernah belajar teori fotografi atau bahkan baru mulai memotret, sebaiknya Anda tersenyum saja. Tidak perlu membantah karena hanya membuang waktu saja.

Percuma saja berdebat dengan seseorang yang tidak paham tentang apa yang dibicarakan. Lebih baik Anda mengambil kamera dan kemudian mulai berlatih memotret atau memahami segitiga exposure.

Pasti hal itu lebih berguna daripada mendengarkan celotehan kosong saja.

Leave a Comment